Berita Terbaru Terkini

Pengertian dan Perkembangan Karya Sastra Indonesia

Sastra Indonesia - Adalah hasil pemikiran sastra orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia. Apapun bentuk karya sastra itu, apabila menggunakan bahasa Indonesia, maka bisa disebut sebagai sastra Indonesia.Membicarakan pengertian sastra Indonesia tidak lepas dari sejarah perkembangan sastra Indonesia itu sendiri. Sastra Indonesia sebenarnya masih tergolong muda, apalagi bila dibandingkan dengan sastra dunia, terutama sastra Eropa.

pengertian sastra indonesia

Awal Periode Sastra

Sebenarnya, bentuk-bentuk karya sastra yang kita lihat dan kita kenal dimulai dari periode Pujangga Baru yang banyak dipengaruhi oleh sastra Eropa. Pengaruh itu sangat terasa terutama pada karya-karya Chairil Anwar yang dianggap kontroversial pada waktu itu.Kenyataan tersebut makin diperkuat akan pendek jarak waktu antara angkatan satu dengan angkatan berikutnya. Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945. Sangat pendek, hanya berjarak 11 tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila sastrawan-sastrawan Indonesia terpengaruh oleh perkembangan sastra dunia.Dengan demikian, pengertian sastra Indonesia adalah bentuk pengungkapan gagasan, pikiran, dan pengucapan sastra orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik sastra itu dipengaruhi oleh sastra asing atau tidak.
Perkembangan Sastra Indonesia

Sejarah perkembangan sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diawali oleh kehadiran karya-karya dari pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya yang lahir sebelum periode tersebut digolongkan ke dalam sastra Melayu.

Perkembangan sastra Indonesia 

Secara garis besar terbagi dalam angkatan-angkatan berikut.

Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)

Balai Pustaka atau Volkslektuur didirikan oleh gubernur Hindia Belanda di Jakarta pada tahun 1908 dengan maksud agar orang Indonesia yang pandai membaca mendapat bacaan yang sesuai dengan kehendak pemerintah, karena pada saat itu, banyak buku-buku berisi masalah politik yang bertentangan dengan tujuan politik pemerintah colonial Belanda.Awalnya, buku yang diterbitkan Balai Pustaka hanyalah buku-buku hikayat, cerita binatang, dan cerita lama. Lalu pada tahun 1918, Balai Pustaka meminta karangan-karangan dari luar, terutama dari guru-guru ternama. Dengan berdirinya penerbitan tersebut telah mendorong para penulis Indonesia untuk berkarya.

Nama-nama pengarang dan karyanya pada periode awal ini adalah sebagai berikut.
  • Merari Siregar dengan karya Azab dan Sengsara
  • Marah Rusli dengan karya Siti Nurbaya
  • Abdul Musi dengan karya Salah Asuhan
  • Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus Dirundung Malang, dan lain-lain
Tema cerita pada periode ini berkisar pada peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan beragama, dan peristiwa kehidupan masyarakat. Karya waktu itu cenderung berbentuk roman.Seperti telah disebutkan di atas, Balai Pustaka merupakan badan penerbit yang berfungsi menerbitkan karya-karya yang tidak bertentangan dengan politik Belanda. Tidak hanya itu, karya yang diterbitkan pun haruslah berbahasa Melayu Riau. Selain itu, Balai Pustaka juga mendatangkan ahli Bahasa dari Belanda yang bertugas mengamati isi dan bahasa buku-buku yang diterbitkan. Oleh karena itu, pengarang pun sangat sulit memasukkan kata-kata dengan bahsa daerah, walaupun kata-kata tersebut telah lazim digunakan.
Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)

Pada zaman ini, Belanda banyak memberikan peraturan terutama mengenai pembatasan karangan atau karya sastra Indonesia.  Oleh karena itu, dengan semangat yang gigih, bangsa Indonesia (baca:pengarang Indonesia) secara diam-siam mendirikan organisasi baru yang diberi nama Pujangga Baru.Angkatan ini dipelopori oleh empat serangkai. Yaitu Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah. Karya sastra yang muncul sebagian besar berbentuk sajak, cerpen, novel, roman, dan drama. Karya pada angkatan ini antara lain sebagai berikut.
  • Layar Terkembangkarya Sutan Takdir Alisyahbana
  • Belenggukarya Armijn Pane
  • Katak Hendak Jadi Lembukarya Nur Sura Iskandar, dan lain-lain
Angkatan ‘45

Ciri khas karya sastra angkatan 45 lebih bebas, namun ditekankan pada isinya. Kalimat-kalimatnya pendek dan tidak menggunakan bahasa yang klise. Isinya pun bersifat realisme.Periodesasi sastra Indonesia angkatan 45 sering disebut-sebut sebagai ‘pendobrak’ konvensi. Hal tersebut memberikan sesuatu yang baru bagi para pembaca sastra, yakni sebuah kepercayaan untuk mendobrak aturan-aturan tertentu mengenai karya sastra, baik dari segi ideologi maupun kebahasaannnya.Munculnya Chairil Anwar dan sastrawan lain di masa itu memberikan sesuatu yang baru bagi panggung sejarah sastra Indonesia. Sajak-sajaknya yang radikal dan jauh dari romantisime (yang menjadi ciri khas angkatan Pujangga Baru) menjadikan sebuah tanda kebaruan bagi dunia sastra Indonesia.Pengarang-pengarang yang terkenal pada masa ini antara lain Idrus, Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Karya yang muncul antara lain Atheis, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, dan lain-lain.

Angkatan ‘66

Angkatan 66 diperkenalkan oleh HB Jassin dalam bukunya yang berjudul Angkatan ‘66. Angkatan ini muncul berbarengan dengan adanya kekacauan politik akibat adanya pemberontakan G-30S/PKI.Pada tahun1965 sampai 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. 

Gerakan ini kemudian dikenal dengan istilah Angkatan '66, yakni angkatan yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional. Sementara  itu, sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.Tokoh-tokoh mahasiswa yang ikut pada saat saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Setelah itu, angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara sampai akhirnya gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa yang menentang Komunis, yang dilatarbelakangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).

Sastra pada angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dengan aliran sastra yang beragam pula. Munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dll pada masa angkatan ini menjadikan karya sastra dianggap lebih maju dari karya-karya pada angkatan sebelumnya. Penerbit Pustaka Jaya pun sangat membantu dalam usaha menerbitkan karya-karya sastra pada angkatan ini.

Sastrawan yang masuk ke dalam angkatan ini antara lain adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hurip, Ajip Rosidi, dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B.Jassin.

Karya-karya yang diterbitkan antara lain sebagai berikut.
  • Pagar Kawat Berdurikarya Toha Mochtar
  • Tiranikarya Taufik Ismail
  • Hati yang Damaikarya N.H. Dini
  • Malam Jahanamkarya Motinggo Boesje, dan lain-lain.
Karya Sastra Kontemporer

Karya sastra kontemporer berawal pada tahun 1970-an. Pada waktu itu situasi politik sudah mereda. Situasi sosial dan ekonomi mulai menunjukkan perbaikan sehingga berpengaruh besar terhadap perkembangan sektor-sektor kebudayaan.Kebebasan berekspresi mulai tumbuh dan berkembang sehingga melahirkan berbagai gerakan pembaruan dalam bidang sastraGerakan pembaruan dalam bidang sastra ini terutama ditandai oleh munculnya puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang mengutamakan bunyi daripada kekuatan makna kata. 

Sampai saat ini, sastra Indonesia semakin berkembang dengan lahirnya pengarang-pengarang muda dan karyanya.Pada angkatan ini, setiap penyair boleh menuliskan puisi dengan gaya apa pun, dalam bentuk apa pun. Tak ada lagi suatu gaya yang harus dipatuhi oleh penyair. Setiap persoalan yang direvitalisasi di dalam puisi sugesti akan menuntut suatu gaya tersendiri, suatu bentuk tersendiri: mungkin suatu bentuk baru, atau sekadar pengulangan bentuk lama, mungkin juga perpaduan bentuk baru dan lama.Maka, yang terpenting dalam puisi sugesti, bukanlah masalah bentuk dan gaya pengucapan, tetapi lebih kepada isi persoalan. Sebagai seorang penyair yang merdeka, maka sang penyair boleh menulis puisi dengan bentuk, gaya, dan kovensi estetika apa pun, yang terpenting ia tahu apa isi persoalan yang hendak disampaikannya.